Minggu, 26 April 2009

TUGAS PROFESIONAL SKILL ( b ) : PROFESIONAL SKILL DALAM BIDANG TEKNIK SIPIL

Sektor jasa konstruksi mempunyai peranan penting dan strategis dalam pembangunan nasional, mengingat sektor jasa Konstruksi menghasilkan produk akhir berupa bangunan baik yang berupa sarana maupun prasarana yang berfungsi mendukung pertumbuhan dan perkembangan berbagai sektor. Sektor jasa Konstruksi inipun sangat mendukung dalam menumbuhkembangkan berbagai produk, baik berupa barang maupun jasa, sehingga baik secara langsung maupun tidak langsung ikut mendukung berkembangnya industri-industri potensial di Indonesia.
Perkembangan politik, ekonomi, sosial dan budaya disertai kesepakatan dunia tentang pasar bebas (free market) dengan ditandai adanya APEC (Asia Pasifik, tahun 2020) dan AFTA (Asean, tahun 2003) menuntut dunia jasa Konstruksi Nasional untuk selalu survive dalam menghadapi persaingan pasar yang semakin kompetitif. Kesulitan utama sektor jasa konstruksi nasional dalam memenangkan persaingan bebas adalah ekonomi biaya tinggi (high cost economy). Hal ini disebabkan oleh terlanjurnya budaya korupsi, kolusi dan nepotisme, sebagaimana diakui oleh Gabungan Pelaksana Konstruksi Indonesia (GAPENSI) dan Asosiasi Kontraktor Indonesia (AKI) bahwa sektor jasa Konstruksi penuh dengan berbagai bentuk penyimpangan dan kecurangan, baik yang bernuansa korupsi, kolusi maupun nepotisme. Penyimpangan dan kecurangan tersebut dilakukan oleh oknum-oknum dari hampir semua pihak yang terlibat dalam sektor ini, baik langsung maupun tidak langsung .
Akibat dari berbagai macam budaya kecurangan, sektor jasa konstruksi nasional sulit untuk dapat bersaing di era pasar bebas (free market). Dimana kontraktor dan konsultan asing yang sudah terbiasa dengan budaya bersih, dinamis dan profesional akan dengan mudah merajalela melahap peluang bisnis konstruksi di negara kita.
Dalam upaya ikut memikirkan nasib sektor jasa Konstruksi yang semakin terpuruk (collaps) dirasa penting untuk mempelajari sekaligus memberikan solusi dalam upaya pemangkasan biaya ekonomi tinggi proyek yang selama ini menjadikan “gembosnya” sektor dunia konstruksi nasional. Sehingga hal ini diharapkan dapat memberikan angin segar bagi perkembangan dunia konstruksi.
Menurut data dari Ikhtisar Jasa Konstruksi di Indonesia antara tahun 1991 – 1996 yang diterbitkan oleh Biro Pusat Statistik tahun 1998 [disadur dari makalah Hartopo, 1999] disebutkan bahwa sektor jasa konstruksi nasional sebelum mengalami krisisi ekonomi mempunyai pertumbuhan tertinggi dibandingkan dengan sektor ekonomi lainnya (Pertanian, Pertambangan, Industri dll) yaitu sebesar 13,71 persen pertahun. Prosentase pertumbuhan tersebut telah melampaui pertumbuhan ekonomi nasional sebesar 7,85 persen pertahun. Tetapi setelah krisis moneter menerpa sejak pertengahan tahun 1997 kondisi Jasa konstruksi berubah menjadi sektor usaha yang sangat parah pertumbuhannya dibanding sektor ekonomi lainnya.
Keterpurukan sektor jasa konstruksi nasional sangat berdampak sekali terhadap pembangunan nasional. Hal ini dikarenakan sektor jasa terbanyak yang mempekerjakan tenaga manusia adalah sektor jasa konstruksi, sehingga dengan terpuruknya sektor ini menyebabkan banyaknya tenaga kerja yang ter PHK (Pemutusan Hubungan Kerja), otomatis jumlah pengangguran semakin banyak, dan hal ini menyebabkan kemandegan total pada sektor ekonomi lainnya. Dengan kata lain sektor jasa konstruksi merupakan sektor utama yang menjadi pemicu terhadap kesuksesan sektor ekonomi lainnya.
Bila kita telaah lebih jauh, indikasi keterpurukan dunia jasa konstruksi sebenarnya sudah terlihat jauh-jauh hari sebelum krisis ekonomi terjadi. Indikasi tersebut dapat dilihat pada maraknya budaya penyimpangan dan kecurangan yang dilakukan pihak-pihak terkait. Penyimpangan dan kecurangan yang bernuansa korupsi, kolusi dan nepotisme merupakan budaya lumrah yang selalu terjadi pada setiap proyek konstruksi. Hal inilah yang menjadi biaya ekonomi tinggi pada dunia jasa konstruksi dan sekaligus menjadi penyebab utama dari keterpurukan tersebut.
Pimpinan Proyek (Pimpro) sebagai wakil pemilik proyek sudah lazim memberikan proyek kepada kontraktor-kontraktor tertentu yang loyal dan menjanjikan imbalan tinggi. Tender proyek hanya dilakukan sebagai alat untuk menjustifikasi proses, sedangkan pemenangnya sudah ditentukan terlebih dahulu. Proses permainan tender (unfair) seperti ini selanjutnya menimbulkan “efek bola kerambol”, kesalahan dari satu pihak akan bergulir kesemua dan menjadikan kesalahan total yang menggerogoti keberadaan proyek. Kontraktor yang telah “membeli” tender proyek dengan harga tinggi akan menurunkan kualitas produk jasa yang diberikan dengan mengerjakan tidak sesuai bestek yaitu dengan mengurangi kualitas dan kuantitas bahkan menghilangkan item pekerjaan yang semestinya. Untuk dapat dengan aman melakukan hal tersebut tentunya kontraktor harus dapat berkolusi dengan pihak-pihak terkait (perencana, pengawas dan owner), usaha tersebut tentu memerlukan biaya yang tidak sedikit.
Akibat dari kecurangan semacam itu, sudah dapat diperkirakan; pertama, dari segi ekonomi, nilai nominal dana yang dipergunakan untuk membiayai proyek yang bersangkutan akan jauh berkurang dari nilai nominal yang sesungguhnya. Bukan sesuatu hal yang mustahil jika dana yang benar-benar dipergunakan pada proyek jasa konstruksi hanya 60% saja, sedangkan 40% selebihnya habis “menguap” di tengah jalan [Suara Merdeka, edisi 4 Oktober 1997]. Hal tersebut mengimplikasikan bahwa ekonomi biaya tinggi pada sektor jasa ini pada akhirnya akan mengakibatkan kebocoran uang negara yang sangat besar. Sebagaimana dilansir oleh Prof. Dr. Soemitro Djojohadikusumo yang dikutip Arbi Sanit (1996), bahwa dana pembangunan Indonesia menguap sekitar sepertiga setiap tahunnya.
Kedua, dari segi kualitas, kondisi seperti ini pada gilirannya mengakibatkan produk yang dihasilkan oleh kontraktor yang bersangkutan sangat buruk, jauh dari yang dipersyaratkan bestek. Banyak bangunan sarana prasarana (jalan, gedung-gedung umum, dll) yang baru selesai dibangun mengalami kerusakan sebelum masa pemakaian, bahkan dalam tahap pemeliharaan sudah memerlukan perbaikan-perbaikan yang serius, pada akhirnya mengakibatkan pembengkakan biaya proyek.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar